Hidup Dari Ikan Tipis
Lapangan sepak bola itu menebar bau amis sehingga perut agak mual. Matahari bersinar terik menyengat tubuh para pembuat ikan tipis kering. Minggu (23/11) yang cerah itu memayungi Kelurahan Juata Laut, Kecamatan Tarakan Utara, Kota Tarakan, Kalimantan Timur.
Ikan tipis yang dikeringkan menjadi makanan khas dari kota di Kalimantan Timur (Kaltim) bagian utara itu. Ikan jenis tersebut banyak terdapat di perairan Pulau Tarakan.
Pembuatan ikan tipis kering dikerjakan sejak berpuluh-puluh tahun oleh warga Juata Laut pendatang keturunan Sulawesi Selatan (Sulsel). Pembuatnya adalah nelayan dan warga biasa. Nelayan menyisihkan sebagian tangkapan dan warga membeli ikan segar dari nelayan.
”Saya sudah sepuluh tahun bikin ikan kering begini,” kata Rohani (45). Ibu tiga anak itu membuat ikan tipis kering sejak menetap pada tahun 1998. Dia pindah dari Palopo, Sulsel, mengikuti suami yang nelayan.
Di sekitar Rohani ada 30 lelaki dan perempuan remaja juga dewasa. Mereka menaruh potongan ikan tipis yang juga disebut ikan lembek di penjemuran. Ada yang kerja sendirian, berdua, atau bertiga. Lapangan sepak bola hampir penuh dengan tempat menjemur yang didirikan miring ditopang tongkat kayu, tetapi berderet rapi.
”Ya, ini pekerjaan kami orang Juata Laut sejak lama,” kata Rudi Muhammad (53) menimpali. Lelaki yang lahir di Kabupaten Pangkep, Sulsel, tersebut menetap di Juata Laut sejak 1979. Sejak saat itulah dia membuat ikan tipis kering.
Dilumuri bumbu
Pembuatan ikan tipis kering ada beberapa tahap. Ikan tipis dibelah dua kemudian dicuci dengan air tawar. Selanjutnya, ikan dilumuri bumbu atau ditaburi garam. Bumbu dibuat dari gula merah, bawang putih, ketumbar, dan merica yang dihaluskan.
Ikan yang berbumbu atau bergaram ditaruh di tempat penjemuran dari kawat. Tempat itu seperti alat pengayak pasir dari kawat, dengan panjang 2 meter dan lebar 1,5 meter. Penjemuran di bawah terik sinar matahari perlu satu hari. Saat cuaca mendung perlu tiga hari.
Setelah kering, ikan berbumbu jadi berwarna coklat kemerahan. Ikan yang ditaburi garam jadi berwarna kuning kecoklatan. Kemudian makanan tersebut dijual dalam plastik 500 gram-1.000 gram. Ikan berbumbu akan berasa seperti dendeng saat dimakan. Ikan bergaram berasa gurih dan asin.
Sebelum dimakan, ikan digoreng 15 detik. Mungkin karena amat tipis, makanan itu bisa menggantikan kerupuk.
Masalah
Usaha mikro yang dijalankan sekitar 150 keluarga itu bukan tanpa masalah. Harga jual ikan segar dari nelayan kerap berubah-ubah. Saat tangkapan berlimpah, harga ikan Rp 20.000 per keranjang. Satu keranjang setara dengan 2,5 kilogram (kg). Namun, saat tangkapan sedikit, harga ikan menjadi Rp 40.000 per keranjang.
Bobot ikan segar yang dikeringkan turun hingga 50 persen atau separuh. Misalnya, sekitar 2,5 kg ikan segar akan menjadi 1,25 kg bila sudah dikeringkan.
Harga jual ikan kering berkisar Rp 15.000 per kg hingga Rp 30.000 per kg. Harga akan rendah saat pedagang enggan membeli karena pelbagai alasan, misalnya pesanan atau minat konsumen turun. Harga cukup baik ketika pesanan amat banyak sehingga pedagang berani membeli dengan harga tinggi.
”Masalahnya, pembeli suka sekali memainkan harga,” kata Rosmiah (43), kelahiran Parepare, Sulsel. Oleh karena itu, amat susah menghitung pendapatan pembuat ikan tipis kering dalam sebulan.
Ada yang mengatakan mendapat Rp 750.000 sampai Rp 1.500.000 setiap bulan. Uang itu relatif cukup untuk berbagai keperluan hidup, seperti membayar listrik, air, membeli makanan, dan menyekolahkan anak.
Bisa jadi para pembuat ikan tipis kering rugi. Kondisi itu terjadi ketika ikan tidak bisa terjual dalam dua bulan. Ikan dalam kemasan tahan sekitar dua bulan. Selepas waktu tersebut ikan akan rusak karena berjamur dan berbau tengik sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
Karena itu, pembuat ikan tipis kering berharap ada koperasi. Posisi tawar dengan nelayan dan pembeli akan lebih kuat. Keberadaan koperasi memungkinkan pembuat mencari jalur pemasaran sendiri tanpa bergantung pada pedagang pasar.
Pembuat akan bisa menolak membeli ikan segar dari nelayan ketika harga tidak rasional. Kedua pihak sebenarnya rugi. Nelayan kehilangan penghasilan dan pembuat tidak mendapat bahan baku. Namun, posisi tawar penting agar keduanya mendapat harga pantas.
Lagi pula ikan segar tetap harus dijual sebab tidak bisa langsung dimasak, kecuali dikukus. Sebelum dimasak pun, ikan harus dilumuri dulu dengan asam dan garam tanpa air. ”Kalau digoreng atau direbus, ikan hancur seperti bubur,” kata Rudi.
Melalui koperasi, pembuat juga bisa menolak menjual kepada pedagang. Terkadang pedagang ingin membeli dengan harga amat rendah, tetapi saat menjual kepada konsumen dengan harga hingga berkali-kali lipat. ”Kami ini jadi enggak ada untungnya,” kata Rosmiah.
Saat kondisi itu terjadi, koperasi bisa menjual langsung kepada masyarakat di Tarakan atau di luar daerah. ”Saya yakin koperasi bisa membuat lebih baik,” kata Rohani.
Perikanan adalah sektor penting bagi perekonomian daerah. Kota Tarakan dalam Angka 2008 menunjukkan bahwa selama tujuh tahun ini perikanan merupakan penyumbang PDRB urutan ketiga. Perikanan yang digabung dalam pertanian menyumbang rata-rata Rp 254 miliar dari Rp 3.800 miliar PDRB setahun.
Potensi besar itu terutama dari perikanan tangkap. Rata-rata hasil tangkapan ikan laut 3.500 ton dari potensi 5.000 ton setahun. Produksi ikan kering 607 ton setahun. (Ambrosius Harto Manumoyoso)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar